Jakarta (Dikdas): Jum’at, 10 Juli 2015, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, bercerita tentang fenomena perilaku siswa Indonesia kepada para peserta Rapat Koordinasi (Rakor) Penumbuhan Budi Pekerti di Gedung Ki Hadjar Dewantara lantai III kompleks Kemendikbud, Senayan, Jakarta. Menurut Mendikbud, perilaku siswa Indonesia cukup memprihatinkan. Ia mencontohkan jawaban siswa yang dinilai kurang beretika saat menerima sebuah pertanyaan sederhana seperti; mau ke mana atau sedang apa?
“Ada anak ditanya mau ke mana? Dijawab, ngapain sih ngurusin. Coba, hal ini kenapa? Karena memang tidak biasa untuk disapa dan bersapa. Padahal hal ini (pertanyaan, red) kan bukan untuk investigasi,” keluh Mendikbud di hadapan para peserta rakor yang terdiri dari para pejabat di lingkungann Kemendikbud, dan kepala dinas pendidikan di Indonesia.
Untuk merubah karakter tersebut, Anies Baswedan menyarankan agar para guru memulai menyapa siswa.
“Ini jadikan tradisi. Lalu sampaikan kepada orangtua, bila anak mau pergi biasakan pamitan, dan ekspresikan kasih sayang. Jadi jangan cal-cul (dilepas begitu saja),” tegas Mendikbud.
Selain itu, saat mengundang orangtua, sekolah memberikan arahan, agar meningkatkan kepedulian terhadap ekspresi anak.
“Karena yang menyesal adalah orangtua sendiri kalau sudah tua dan sakit, tapi karena anaknya tidak biasa memeluk, tidak memiliki ekspresi kasih sayang, nanti kaku luar biasa. Dirawat di rumah sakit, anaknya diam saja karena tak biasa pegang tangan, tak biasa memeluk. Jadi sentuhan jiwa itu penting,” tegas Mendikbud.
Selain persolan etika, Mendikbud juga menyoroti kepedulian siswa terhadap lambang negara, seperti Pancasila dan Lagu Indonesia Raya.
Pada tahun 2014, cerita Mendikbud, ada seorang kepala sekolah yang tidak ingin ada upacara bendera di sekolahannya. Karena menurutnya, upacara itu berbau militer. Suatu ketika ia menyuruh anak didiknya yang duduk di kelas IV menyanyikan Lagu Indonesia Raya, dan ternyata siswa itu tidak bisa.
“Ada anak ditanya mau ke mana? Dijawab, ngapain sih ngurusin. Coba, hal ini kenapa? Karena memang tidak biasa untuk disapa dan bersapa. Padahal hal ini (pertanyaan, red) kan bukan untuk investigasi,” keluh Mendikbud di hadapan para peserta rakor yang terdiri dari para pejabat di lingkungann Kemendikbud, dan kepala dinas pendidikan di Indonesia.
Untuk merubah karakter tersebut, Anies Baswedan menyarankan agar para guru memulai menyapa siswa.
“Ini jadikan tradisi. Lalu sampaikan kepada orangtua, bila anak mau pergi biasakan pamitan, dan ekspresikan kasih sayang. Jadi jangan cal-cul (dilepas begitu saja),” tegas Mendikbud.
Selain itu, saat mengundang orangtua, sekolah memberikan arahan, agar meningkatkan kepedulian terhadap ekspresi anak.
“Karena yang menyesal adalah orangtua sendiri kalau sudah tua dan sakit, tapi karena anaknya tidak biasa memeluk, tidak memiliki ekspresi kasih sayang, nanti kaku luar biasa. Dirawat di rumah sakit, anaknya diam saja karena tak biasa pegang tangan, tak biasa memeluk. Jadi sentuhan jiwa itu penting,” tegas Mendikbud.
Selain persolan etika, Mendikbud juga menyoroti kepedulian siswa terhadap lambang negara, seperti Pancasila dan Lagu Indonesia Raya.
Pada tahun 2014, cerita Mendikbud, ada seorang kepala sekolah yang tidak ingin ada upacara bendera di sekolahannya. Karena menurutnya, upacara itu berbau militer. Suatu ketika ia menyuruh anak didiknya yang duduk di kelas IV menyanyikan Lagu Indonesia Raya, dan ternyata siswa itu tidak bisa.
“Kepala sekolah itu shock melihat siswa kelas IV SD tidak bisa menyanyikan Indonesia Raya. Akhirnya pada bulan berikutnya, upacara bendera dijadikan kegiatan reguler di sekolahnya,” cerita Mendikbud.
Beberapa fenomena tersebut, merupakan sebagian dari latar belakang Mendikbud meluncurkan program Penumbuhan Budi Pekerti.
Penumbuhan Budi Pekerti
Penumbuhan Budi Pekerti (PBP) merupakan kegiatan pembiasaan sikap dan perilaku positif di sekolah yang dilaksanakan berjenjang mulai sekolah dasar hingga sekolah menengah (SD, SMP, SMA/SMK) serta sekolah pada jalur pendidikan khusus. Kegiatan PBP ini dimulai sejak masa orientasi peserta didik baru, hingga kelulusan.
Ada tujuh nilai dasar dalam PBP yang harus ditumbuhkembangkan, yaitu: nilai-nilai moral dan spiritual; nilai-nilai kebangsaan dan kebhinekaan; interaksi positif antara peserta didik dengan guru dan orangtua; interaksi positif antar peserta didik; merawat diri dan lingkungan sekolah; mengembangkan potensi diri peserta didik secara utuh; dan pelibatan orangtua dan masyrakat di sekolah.
Sementara tujuan PBP ada empat. Pertama, menjadikan sekolah sebagai taman belajar yang menyenangkan bagi warga sekolah. Kedua, menumbuhkembangkan kebiasaan yang baik sebagai bentuk pendidikan karakter sejak di sekolah. Ketiga, menjadikan pendidikan sebagai gerakan yang melibatkan pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat dan keluarga. Keempat, menumbuhkembangkan lingkungan dan budaya belajar yang serasi antara sekolah, masyarakat dan keluarga.
Sasaran PBP ini adalah peserta didik, guru, tenaga kependidikan, orang tua wali, komite sekolah, aluni dan masyarakat.
Ada perbedaan pada metode pelaksanaan PBP. Bila di sekolah dasar, guru dan kepala sekolah harus menjadi contoh yang baik bagi peserta didik. Mereka menjadi contoh langsung dalam pembiasaan keteraturan dan pengulangan. Di tingkat SD ini, guru juga berperan sebagai pendamping untuk mendorong peserta didik belajar mandiri sekaligus memimpin aktivitas kelompok, seperti bermain, bernyanyi, menari, mendongeng, melakukan simulasi dan bermain peran dalam kelompok.
Sementara pada jenjang SMP, SMA, SMK dan sekolah pendidikan khusus dilakukan dengan kemandirian peserta didik, membiasakan keteraturan dan pengulangan, yang dimulai sejak masa orientasi peserta didik baru, proses kegiatan ekstrakurikuler, intrakurikuler hingga sampai lulus.
Seluruh pelaksanaan kegiatan PBP ini bersifat kontekstual, disesuaikan dengan nilai-nilai muatan lokal daerah pada peserta didik sebagai upaya untuk memperkuat nilai-nilai kemanusiaan.
Waktu pelaksanaan PBP ini dapat dilakukan berdasarkan aktivitas harian, mingguan, bulanan, tengah tahunan, dan akhir tahun. Penentuan waktu bisa disesuaikan dengan kebutuhan konteks lokal di daerah masing-masing.*
M. Adib Minanurohim
Sumber : http://dikdas.kemdikbud.go.id
Beberapa fenomena tersebut, merupakan sebagian dari latar belakang Mendikbud meluncurkan program Penumbuhan Budi Pekerti.
Penumbuhan Budi Pekerti
Penumbuhan Budi Pekerti (PBP) merupakan kegiatan pembiasaan sikap dan perilaku positif di sekolah yang dilaksanakan berjenjang mulai sekolah dasar hingga sekolah menengah (SD, SMP, SMA/SMK) serta sekolah pada jalur pendidikan khusus. Kegiatan PBP ini dimulai sejak masa orientasi peserta didik baru, hingga kelulusan.
Ada tujuh nilai dasar dalam PBP yang harus ditumbuhkembangkan, yaitu: nilai-nilai moral dan spiritual; nilai-nilai kebangsaan dan kebhinekaan; interaksi positif antara peserta didik dengan guru dan orangtua; interaksi positif antar peserta didik; merawat diri dan lingkungan sekolah; mengembangkan potensi diri peserta didik secara utuh; dan pelibatan orangtua dan masyrakat di sekolah.
Sementara tujuan PBP ada empat. Pertama, menjadikan sekolah sebagai taman belajar yang menyenangkan bagi warga sekolah. Kedua, menumbuhkembangkan kebiasaan yang baik sebagai bentuk pendidikan karakter sejak di sekolah. Ketiga, menjadikan pendidikan sebagai gerakan yang melibatkan pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat dan keluarga. Keempat, menumbuhkembangkan lingkungan dan budaya belajar yang serasi antara sekolah, masyarakat dan keluarga.
Sasaran PBP ini adalah peserta didik, guru, tenaga kependidikan, orang tua wali, komite sekolah, aluni dan masyarakat.
Ada perbedaan pada metode pelaksanaan PBP. Bila di sekolah dasar, guru dan kepala sekolah harus menjadi contoh yang baik bagi peserta didik. Mereka menjadi contoh langsung dalam pembiasaan keteraturan dan pengulangan. Di tingkat SD ini, guru juga berperan sebagai pendamping untuk mendorong peserta didik belajar mandiri sekaligus memimpin aktivitas kelompok, seperti bermain, bernyanyi, menari, mendongeng, melakukan simulasi dan bermain peran dalam kelompok.
Sementara pada jenjang SMP, SMA, SMK dan sekolah pendidikan khusus dilakukan dengan kemandirian peserta didik, membiasakan keteraturan dan pengulangan, yang dimulai sejak masa orientasi peserta didik baru, proses kegiatan ekstrakurikuler, intrakurikuler hingga sampai lulus.
Seluruh pelaksanaan kegiatan PBP ini bersifat kontekstual, disesuaikan dengan nilai-nilai muatan lokal daerah pada peserta didik sebagai upaya untuk memperkuat nilai-nilai kemanusiaan.
Waktu pelaksanaan PBP ini dapat dilakukan berdasarkan aktivitas harian, mingguan, bulanan, tengah tahunan, dan akhir tahun. Penentuan waktu bisa disesuaikan dengan kebutuhan konteks lokal di daerah masing-masing.*
M. Adib Minanurohim
Sumber : http://dikdas.kemdikbud.go.id
No comments :
Post a Comment