Jakarta (Dikdas): Program Penumbuhan Budi Pekerti (PBP), dilaksanakan melalui beberapa tahapan. Dimulai dari pengajaran, pembiasaan, pendisiplinan hingga menjadi kebudayaan. Demikian disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, dalam Rapat Koordinasi (Rakor) PBP yang diikuti para pejabat di lingkungan Kemendikbud, dan kepala dinas pendidikan di Indonesia.
“Fase nilai-nilai yang akan kita tumbuhkan adalah kita ajarkan, kemudian pembiasaan, pendisiplinan sehingga menjadi kebiasaan dan akhirnya menjadi kebudayaan. Misalkan budaya bersih, itu wujudnya. Awalnya, anak didik itu diajarkan untuk bersih, kemudian dibiasakan mejadi bersih, dan bila kurang maka didisiplinkan sehingga terbentuk kebiasaaan bersih lalu menjadi budaya bersih,” jelas Mendikbud, di Gedung Ki Hadjar Dewantara lantai III kompleks Kemendikbud, Senayan, Jakarta, Jumat, 10 Juli 2015. “Fase itu tidak bisa langsung meloncat, perlu proses. Nah inilah yang akan kita lakukan di sekolah-sekolah kita.”
Dalam Rakor PBP itu, Mendikbud menterjemahkan beberapa nilai dasar dalam PBP.
“Pertama, internalisasi nilai-nilai moral dan spiritual. Sebagai value, saya rasa ini tidak melahirkan pertanyaan. Namun bagaimana ini diterjemahkan? Misalkan, tiap hari, tiap pagi, semua sekolah di seluruh jenjang harus mengikuti kegiatan berdoa. Bukan tiap jam pelajaran, namun tiap mengawali belajar dan tiap mengakhirinya. Lalu siapa yang memimpin doa? Siswa, dan ini digilir. Sehingga akan melahirkan sikap leadership. Lalu siapa yang mengajarkan? Guru. Doa yang bagaimana? Sesuai keyakinannya. Sekolah memberikan bimbingan,” tegas Mendikbud.
Kedua, penanaman nilai kebangsaan dan kebhinekaan. Menurut Mendikbud, perasaan sebagai satu bangsa Indonesia tidak mendadak ada. Karena itu harus dijaga dan dirawat oleh generasi baru, karena mereka yang akan memimpin Indonesia.
Dalam merawat perasaan sebagai satu bangsa, ada beberapa kegiatan yang harus dilakukan. Misalkan upacara bendera setiap hari senin dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Di akhir kegiatan belajar, lanjut Mendikbud, diteruskan dengan menyanyikan lagu dengan pilihan lagu daerah, lagu wajib nasional, atau lagu-lagu bernuansa patriotik di luar daftar lagu wajib nasional. Misalkan lagu Pancasila Rumah Kita buah karya Franky Sahilatua.
“Maksud saya begini, kita memang ada pembiasaan namun kita tidak ingin menjadikannya kaku hanya lagu A, B, C, dan D. Bapak ibu sekalian, berikan kepada sekolah untuk memilih lagu yang menurut mereka pas. Sekarang ini banyak ekspresi anak muda,” ujar Mendikbud. “Jangan sampai semangat keindonesiaan kita diterjemahkan dalam bahasa lama, frekuensi lama, anak-anak kita tidak menangkapnya, lalu tak mendalaminya. Jadi jangan kuatir dengan nuansa yang lebih kekinian, itu sama kok dengan orangtua kita dulu saat mendengar lagu Indonesia Raya dinyanyikan dengan orkestra, mereka bilang bahwa yang benar menggunakan angklung. Mereka bilang, piye to iki, lagu kebangsaan kok menggunakan alat musiknya kaum penjajah? Nah, ini dulu. Sekarang menyanyikan lagu Indonesia Raya menggunakan biola tidak ada yang mempertanyakan, tapi kalau dulu dipertanyakan.”
Selain itu, penanaman nilai kebangsaan dan kebhinekaan bisa dilakukan dengan mengajak peserta didik merayakan hari-hari besar Indonesia.
“Namun biasakan pada dua hari sebelumnya untuk membicarakannya. Sebagai contoh 28 oktober (Hari Sumpah Pemuda, red), maka pada tanggal 26 dan 27 itu diadakan kegiatan yang membincang tentang 28 oktober. Meski dalam buku sejarah hal itu sudah dituliskan. Tapi ini penting dibicarakan. Jadi berikan pada anak-anak itu sebuah perspektif,” tambah Mendikbud.
“Fase nilai-nilai yang akan kita tumbuhkan adalah kita ajarkan, kemudian pembiasaan, pendisiplinan sehingga menjadi kebiasaan dan akhirnya menjadi kebudayaan. Misalkan budaya bersih, itu wujudnya. Awalnya, anak didik itu diajarkan untuk bersih, kemudian dibiasakan mejadi bersih, dan bila kurang maka didisiplinkan sehingga terbentuk kebiasaaan bersih lalu menjadi budaya bersih,” jelas Mendikbud, di Gedung Ki Hadjar Dewantara lantai III kompleks Kemendikbud, Senayan, Jakarta, Jumat, 10 Juli 2015. “Fase itu tidak bisa langsung meloncat, perlu proses. Nah inilah yang akan kita lakukan di sekolah-sekolah kita.”
Dalam Rakor PBP itu, Mendikbud menterjemahkan beberapa nilai dasar dalam PBP.
“Pertama, internalisasi nilai-nilai moral dan spiritual. Sebagai value, saya rasa ini tidak melahirkan pertanyaan. Namun bagaimana ini diterjemahkan? Misalkan, tiap hari, tiap pagi, semua sekolah di seluruh jenjang harus mengikuti kegiatan berdoa. Bukan tiap jam pelajaran, namun tiap mengawali belajar dan tiap mengakhirinya. Lalu siapa yang memimpin doa? Siswa, dan ini digilir. Sehingga akan melahirkan sikap leadership. Lalu siapa yang mengajarkan? Guru. Doa yang bagaimana? Sesuai keyakinannya. Sekolah memberikan bimbingan,” tegas Mendikbud.
Kedua, penanaman nilai kebangsaan dan kebhinekaan. Menurut Mendikbud, perasaan sebagai satu bangsa Indonesia tidak mendadak ada. Karena itu harus dijaga dan dirawat oleh generasi baru, karena mereka yang akan memimpin Indonesia.
Dalam merawat perasaan sebagai satu bangsa, ada beberapa kegiatan yang harus dilakukan. Misalkan upacara bendera setiap hari senin dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Di akhir kegiatan belajar, lanjut Mendikbud, diteruskan dengan menyanyikan lagu dengan pilihan lagu daerah, lagu wajib nasional, atau lagu-lagu bernuansa patriotik di luar daftar lagu wajib nasional. Misalkan lagu Pancasila Rumah Kita buah karya Franky Sahilatua.
“Maksud saya begini, kita memang ada pembiasaan namun kita tidak ingin menjadikannya kaku hanya lagu A, B, C, dan D. Bapak ibu sekalian, berikan kepada sekolah untuk memilih lagu yang menurut mereka pas. Sekarang ini banyak ekspresi anak muda,” ujar Mendikbud. “Jangan sampai semangat keindonesiaan kita diterjemahkan dalam bahasa lama, frekuensi lama, anak-anak kita tidak menangkapnya, lalu tak mendalaminya. Jadi jangan kuatir dengan nuansa yang lebih kekinian, itu sama kok dengan orangtua kita dulu saat mendengar lagu Indonesia Raya dinyanyikan dengan orkestra, mereka bilang bahwa yang benar menggunakan angklung. Mereka bilang, piye to iki, lagu kebangsaan kok menggunakan alat musiknya kaum penjajah? Nah, ini dulu. Sekarang menyanyikan lagu Indonesia Raya menggunakan biola tidak ada yang mempertanyakan, tapi kalau dulu dipertanyakan.”
Selain itu, penanaman nilai kebangsaan dan kebhinekaan bisa dilakukan dengan mengajak peserta didik merayakan hari-hari besar Indonesia.
“Namun biasakan pada dua hari sebelumnya untuk membicarakannya. Sebagai contoh 28 oktober (Hari Sumpah Pemuda, red), maka pada tanggal 26 dan 27 itu diadakan kegiatan yang membincang tentang 28 oktober. Meski dalam buku sejarah hal itu sudah dituliskan. Tapi ini penting dibicarakan. Jadi berikan pada anak-anak itu sebuah perspektif,” tambah Mendikbud.
Ketiga, interaksi positif antarsiswa. Menurut Mendikbud internalisasi nilai ini bisa dilakukan dengan mengajak siswa menjenguk kawan yang sedang sakit atau melayat pada salah satu kaluarga kawannya yang wafat.
“Sesuatu itu nampaknya sederhana, tapi kalau kita tidak membiasakannya sejak kecil, belum tentu anak-anak kita nanti akan terbiasa saat dewasa. Jadi diajarkan, dibiasakan sehingga membentuk kebiasaan. Bila ini dikerjakan, maka interaksi antar anak akan jauh menjadi lebih baik,” jelas Mendikbud.
Keempat, menyangkut interaksi positif antara guru dan orangtua siswa, yang wajib dikerjakan adalah mengadakan pertemuan dengan orangtua siswa pada setiap tahun ajaran baru. Kepada orangtua, pihak sekolah menjelaskan visi, aturan, materi, dan rencana pencapaian belajar.
Kelima, mengenai pengembangan potensi diri peserta didik secara utuh, tugas yang dilakukan adalah mendorong perkembangan kecakapan dasar atas minat siswa. Misalkan, lima belas menit pertama membaca buku selain buku mata pelajaran. Menurut Mendikbud, ini penting karena Indonesia merupakan salah satu negara dengan minat baca yang paling rendah di dunia.
Selain itu, guru harus membiasakan anak bertanya. “Karena kita punya kecenderungan, bila ada yang tanya, itu lingkungannya menghukum yang bertanya. Disoraki. Nah, ini juga terjadi pada guru, sesama guru juga saling mengejek, itu lagi-itu lagi. Sudah ditanyakan ditanyakan lagi. Nah ini harus kita ubah,” ujar Mendikbud.
Contoh lain adalah penyelenggaraan pameran karya siswa tiap tahun.
“Apa pun karyanya. Tidak dibatasi. Anak-anak banyak melakukan banyak hal di sekolah, dan belum tentu orangtuanya menetahuinya. Karena itu, buat pameran. Bila perlu dilakukan tiap semester. Dan orangtua diajari agar menghargai karya anak, himbau mereka untuk menghargai karya anaknya,” jelas Mendikbud. “Sampaikan kepada orangtua juga agar rela meluangkan waktu 20 menit untuk membicarakan apa yang terjadi di sekolah kepada anaknya.”
Beberapa nilai di atas, menurut Mendikbud akan digerakkan di sekolah-sekolah mulai tahun ajaran baru.
“Tugas dinas, melakukan identifikasi praktek-praktek terbaik di tempat bapak ibu. Tunjukkan di kabupaten X misalkan, ada sekolah A yang melakukan kegiatan B yang sangat menarik. Tunjukkan. Kami nanti akan menjadi clean housenya. Kita akan kumpulkan di sini. Sehingga bisa mejadi pelajaran bagi tempat yang lain. Jadi bukan Jakarta (pusat) merumuskan dan daerah melaksanakan. Tidak. Justru kita berikan garis besar visinya, biarkan muncul di tiap-tiap daerah, dan praktek-praktek terbaik ini akan menjadi inspirasi bagi tempat lainnya,” jelas Mendikbud.
PBP yang rencananya akan ditetapkan dalam Permendikbud Nomor 21 tahun 2015 ini, tambah Mendikbud, mendorong apa yang disebut Bapak Presiden sebagai Revolusi Mental. *
M. Adib Minanurohim
Sumber : http://dikdas.kemdikbud.go.id
No comments :
Post a Comment